Senin, 28 Desember 2009


Suasana lempar jumrah
Rombongan Jemaah Umrah Ahsanta dari berbagai daerah ; Jakarta, Bekasi, Brebes, Sulawesi

Manasik Praktek


Untuk menggapai Kemabruran dalam beribadah Haji & Umrah Sebelumnya mendalami Manasik baik teori maupun praktek.

Selasa, 22 Desember 2009

MASTERPLAN MASJIDIL HARAM TAHUN 2020

Labaika Allahumma labaik, labaika la syarika laka labaik, Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk la syarikalak

PENGALAMAN SPRITUAL BERHAJI 2009 DENGAN AHSANTA TRAVEL



Meskipun perjalanan ini hanya 2 dari jutaan jemaah Indonesia yang sudah berangkat ke Tanah Suci, meskipun saya tidak mengalami pengalaman esoteris luar biasa seperti yang dialami oleh begitu banyak jamaah lainnya. Namun, saya merasa begitu besar rahmat dan rejeki yang telah dilimpahkanNya kepada seorang hambaNya yang banyak melakukan kemaksiatan dalam kehidupan ini. Betapa ingin hati ini mempertahankan situasi kalbu seperti ketika bersimpuh di depan rumahNya, merasakan “sesuatu” pada nurani yang tak teruraikan, semua perjalanan ini seperti mimpi. Kami berdua, jelek-jelek juga punya sedikit pengalaman berwisata atau karena terkait pekerjaan pergi beberapa kota di beberapa negara. Namun, hanya satu tempat yang kemudian memberikan gelora keinginan untuk kembali dan terus ingin kembali. Mengunjungi baitullah serta menangis dan berdoa mohon ampunan atas segal dosa-dosa, agar diberi kesempatan untuk datang kembali. Itulah yang kemudian dari semua perjalanan itu, perjalanan haji yang teristimewa dalam kehidupan yang pendek ini. Dimana ibadah rohani dapat kami lakukan dengan khusuk dan lancara selama 28 hari, kami berterima kasih atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan Ahsanta Travel sehingga dapat beribadah dengan lancar. Semoga Allah SWT memberikan kami kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji kembali amiin ya Allah.Setiap orang yang berangkat ke Tanah Haram untuk berhaji kerap berkisah tentang pengalaman- pengalaman spiritualnya. Saya sendiri, memiliki pengalaman yang diceritakan tentang apa yang dilihat dan dirasakan. Sengaja tidak disusun berdasarkan urutan kejadian, tapi berdasarkan urutan perasaan saja sehingga kadang loncat dari satu lintasan ke lintasan lainnya. Berikut ini yang saya dengar langsung dari pengalamann-pengalaman rekan yang berhaji baik dari rekan (yang berhaji sebelumnya), maupun yang pergi bersama. Adapun pengalaman istimewa seperti yang diceritakan di sini yaitu :
  1. Kakak berkisah bahwa dalam satu sholat di depan Ka’bah, di antara Adzan dan Qa’mat melakukan dzikir. Beliau merasakan dan melihat bahwa semua isi mesjid mengaminkan apa yang diucapkannya dalam dzikir. Mereka yang mengaminkan itu berpakaian putih, namun beliau tidak melihat wajahnya.
  2. Isteri saya cerita, bahwa si E, teman kakak saya yang berangkat bersama ke haji tapi di klotter berbeda sama sekali tidak pernah berangkat ke mesjid dan menjalankan prosesi hajinya. Mengapa?. Karena hampir satu bulan mengalami haid terus menerus. Suatu hal yang tidak pernah dialaminya selama hidupnya?. Saya hanya terkesima saja.
  3. Saudara saya P merasa sangat yakin akan dapat mencium Hajar Aswad,:”Dia ingin ceritakan ke teman-temannya bahwa mencium Hajar Aswad itu gampang”. Sampai ke pulangnya, beliau tidak berhasil mencium Hajar Aswad.
  4. Orang berkulit hitam itu, kata teman-teman keringatnya bau dan menyesakkan. Namun, saya tidak pernah mengalami/merasakan sama sekali. Bahkan di Nabawi, ada orang besar, orang Afrika yang berlalu di dekat saya, lalu duduk. Tapi, malah sekilas saya merasakan harum!. Bahkan orang hitam itu membantu kami sekeluarga mencium hajar azwad. Saya hanya berucap alhamdulillah saja.

Banyak orang ke sana, bercerita tentang pengalamannya. Saya punya saudara yang juga sudah 6 kali berhaji. Namun, beliau sampaikan tidak satu kalipun mengalami apa yang diceritakan. Jangankan untuk mengalami spiritual seperti itu, untuk sekedar bisa bersimpuh menangis di tanah suci saja tak berhasil. Namun, saya percaya bahwa pengalaman-pengalaman setiap orang itu indah (dan ada juga yang tidak menyenangkan). Ada yang pengalamannya lebih bersifat metafisis ada juga yang bersifat nyata dan lembut. Mungkin semua tergantung apa yang dipersepsikan. Secara keseluruhan, saya menyimpulkan sebagai berikut :

  1. Ada sentuhan-sentuhan spiritual yang ditunjukkan selama di Tanah Suci atas perilaku jamaah yang memenuhi panggilanNya. Beberapa dari jamaah itu mengalami hal-hal yang sifatnya tak terjelaskan. Ada dua kemungkinan untuk hal ini : Karena situasi sakral dalam nurani masing-masing sehingga kepekaan menjadi lebih tinggi atau memang sedang berbohong saja. Namun, saya lebih meyakini, kemungkinan pertamalah yang terjadi. Ini adalah pengalaman esoteris yang indah atau tidak nyaman bagi pelakunya.
  2. Peristiwa yang terjadi bersifat fisis (logis), misalnya sering dimarahi orang, diinjak kakinya, kehilangan, sering diberi orang, ditolong terus menerus, yang terhubungkan dengan kejadian atau sikapnya di tanah air. Pengalaman-pengalaman positif memberikan hikmah dan menimbulkan kesadaran tambahan atas ketidakberdayaan seorang hamba pada Sang Mahapencipta dan juga menimbulkan refleksi positip atas perilakunya kemudian. Pengalaman-pengalaman ini menimbulkan kerinduan untuk kembali datang ke rumahNya. Tampaknya juga bahwa tingkatan esoteris yang terjadi berkaitan dengan rasa ikhlas sehingga ujian kesenangan atau kepedihan yang terjadi diterima sebagai bagian dari usaha mendekatkan diri kepadaNya. Akhirnya, perasaan itu menimbulkan kebahagiaan tersendiri yang tak bisa dilupakan, selalu dirindukan.
  3. Terdapat kondisi pula bahwa kepergiannya ke tanah suci tidak menimbulkan rasa apa-apa. Biasa saja. Tidak menimbulkan hal-hal yang istimewa. Artinya, sama saja dengan wisata biasa. Semua kekesalan dunia, kurang makan, pelayanan yang buruk, keramaian bikin sumpek dirasakan sebagaimana biasa. Singkatnya, orang ini tidak mengalami wisata spiritual apapun. Bahkan merasa bosan. Namun, kecuali sama orang-orang terdekat atau mungkin oleh sebab lain, jarang sekali ini diceritakan/diungkapkan. Saya hanya mendengar hal ini bahwa si A bilang begitu, bilang begini. Bahwa sebenarnya di Tanah Suci itu tidak ada tuh yang diceritakan seperti itu. Sama saja dengan di tempat lain.
  4. Ada orang yang karena sebab yang tidak diketahui (tidak saya ketahui), tidak bisa memasuki mesjid karena berbagai sebab mulai dari haid terus menerus, sakit berkepanjangan, atau halangan lainnya sehingga hajinya gagal total.
  5. Semua kejadian-kejadian itu, dipahami sebagai bentuk-bentuk ujian/cobaan dari Allah SWT. Saya sendiri menilai bahwa hal ini sebenarnya terjadi dimanapun juga di permukaan bumi ini. Namun, di Tanah Suci menjadi berbeda karena dua sebab : 1). Ya, ini adalah wilayah spiritual yang Allah tetapkan dan ditunjukkan kepada ummatnya. Semua tindakan dan ucapan harus terjaga dan sebagai peringatan bagi yang memenuhi panggilanNya. 2.) Jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia dengan satu tujuan yang sama, memiliki dasar perilaku yang berbeda, sifat berbeda, budaya berbeda. Tumpah ruahnya manusia ini tentu saja menimbulkan konsekuensi bermacam-macam. Apalagi bagi mereka yang tidak punya pengalaman sama sekali bertemu dengan jutaan manusia lainnya dari ragam bangsa. 3) Jutaan ummat dengan tujuan yang sama, menjadikan satu dimensi “rasa” yang lain. Tidak ada satu tempat pun di muka bumi, dimana jutaan orang dengan tujuan yang sama, bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk melakukan suatu ritual. Hati dikondisikan pada keadaan ini menimbulkan nuansa yang sangat berbeda dengan keseharian.

Yah, apapun juga cerita haji. Ini adalah rukun ke lima yang diwajibkan bagi yang mampu. Jangan katakan belum mendapatkan panggilanNya. Lima rukun Islam itu telah diserukan sejak sebelum akil balig, oleh guru kita sejak SD. Kalau ingin berislam, berangkatlah haji, jika mampu. Pengalaman haji, ada atau tidak, sama sekali bukan ukuran untuk dijadikan atau dinilai manusia sebagai mabrur atau tidak, diterima atau tertolak. Bisa berangkat ke sana (jika mampu) adalah bagian dari memenuhi kewajiban, melaksanakan penghambaan dan bagian dari harapan pengampunanNya. Mampu secara material, mampu secara kesehatan, mampu secara waktu. Semoga saudara-saudaraku seiman yang mau berlelah-lelah membaca di blog ini dapat memenuhi panggilanNya dan bila sudah melakukannya, mau juga berbagi pengalaman.Diposkan oleh Budi Supriyatno

"POHON SUKARNO" DI ARAFAH

Padang Arafah… sebuah areal yang sakral dalam ritual haji. Tidak sah ibadah haji, tanpa melakukan wukuf (berdiam diri) di padangba’da Arafah. Tak heran, jika pada tanggal 9 Dzulhijah, di antara waktu tergelincirnya matahari ( dhuhur) hingga terbenamnya matahari, semua jemaah haji, tanpa kecuali, harus menjalani wukuf di Arafah.

Yang sehat, yang sekarat… yang gagah, yang jalan dipapah… harus berdiam di Arafah. Sekalipun untuk itu, si sakit harus tetap di pembaringan dengan berbagai selang infus dan alat-alat bantu medis lainnya. Alhasil, berbondong-bondonglah jutaan jemaah haji menuju padang Arafah.

Lokasi padang Arah, kurang lebih sekitar 26 km sebelah tenggara kota Mekah. “Kehidupan” di Arafah hanya tampak pada tanggal 9 Dzulhijah. Selebihnya, Arafah adalah daerah tak berpenghuni. Di luar waktu wukuf, Arafah tidak lagi menjadi daerah sakral dan mustajab. Sebaliknya, pada waktu wukuf itulah Arafah menjadi daerah yang begitu sakral.

Menggambarkan suasana wukuf di Arafah, bisa sangat panjang. Karenanya, mari kita ambil haluan semula, menyoal adanya “Pohon Sukarno” di sana. “Pohon Sukarno” di Padang Arafah. Dinamakan pohon Sukarno, semata sebagai penghargaan bangsa Arab kepada Presiden Republik Indonesia yang pertama, Sukarno.

Sukarno-lah yang menggagas penghijauan di Padang Arafah. Konon, Sukarno pula yang memilihkan jenis tanaman, hingga menyiapkan sebuah tim penghijauan Arafah. Gagasan Sukarno berhasil. Padang tandus dengan permukaan batu cadas nan gersang, berhasil dihijaukan oleh Sukarno. Raja Fahd (ketika itu), sangat berterima kasih, dan mengabadikan nama “Pohon Sukarno” untuk poho-pohon yang sekarang menghijaukan areal Arafah seluas kurang lebih 5,5 km X 3,5 km atau setara 19,25 km persegi.

Hingga kini, orang masih banyak yang bertanya-tanya ihwal jenis pohon yang dinamakan “Pohon Sukarno” itu. Ada sejumlah nama yang acap diucap orang. Di Indonesia, jenis pohon yang ditanam di Arafah itu dinamakan pohon imba. Selain daunnya berkhasiat untuk mengobati diare, lebih dari itu jenis pohon ini sangat tahan hidup di daerah tandus, bahkan dalam suhu udara yang panas ekstrim.

Sumber lain menyebut nama pohon mindi sebagai “pohon Sukarno” di Arafah. Jenis pohon mindi ini bisa hidup di tanah berpasir, tandus, gersang… dan sangat tahan meski kekurangan air. Daunnya diyakini berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Sekalipun begitu, dahan dan rantingnya sangat mudah patah. Sangat mungkin, pohon imba dan pohon mindi itu sama. Setidaknya, berasal dari rumpun pepohonan yang sejenis.

Yang pasti, dengan gagasan penghijauan Arafah, kini areal itu menjadi ijo royo-royo. Dipotret dari udara, tampak petak-petak hijau dengan aneka bentuk tenda perkemahan jemaah haji, disekat jalur jalan beraspal mulus.

Hal lain, Padang Arafah ini juga diibaratkan rahim ibu. Artinya, luas arealnya tidak pernah bertambah luas, tetapi tatap mampu menampung berapa pun jumlah jemaah. Jika luas Arafah hanya ideal dihuni tak lebih dari 2 juta jiwa, faktanya pada musim haji, penghuni Padang Arafah bisa mencapai 3,5 – 4 juta.

Laksana rahim sang ibu, yang mampu mengandung satu janin, atau beberapa janin sekaligus, maka seperti itu pulalah Padang Arafah. Ia cukup bagi 2 juta jemaah haji… dan tetap cukup meski berisi 4 juta jemaah haji. Arafah juga sebuah miniatur Padang Mahsyar atau yang juga disebut yawm al Mahsyar (Hari Kebangkitan). Dan Sukarno telah menghijaukan areal yang begitu sakral bagi seluruh umat muslim di atas bumi, sehingga namanya pun diabadikan di sana.

SOEKARNO ... HAJI AKBAR

Bung Karno adalah seorang Haji Akbar. Nalarnya, saat ia berangkat haji tahun 1955, ritual inti haji terjadi pada hari Jumat, sebuah hari suci bagi umat Islam. Karena itulah ia bergelar Haji Akbar. Tentu saja peristiwa itu tergolong langka. Sebuah versi menyebutkan, dari ibadah haji yang dilakukannya itulah ia mendapat tambahan nama “Ahmad”.

Akan tetapi, Bung Karno tetap Bung Karno. Ia tidak menyandangkan nama Ahmad maupun gelar haji di depan namanya. Karenanya, ia pernah berang manakala seorang wartawan Amerika Serikat menuliskan namanya sebagai Ahmad Sukarno.

Menunaikan ibadah haji tahun 1955, tentulah berbeda dengan era sekarang. Sebab, fasilitas penunjang kelancaran beribadah, belum sesempurna saat ini. Sebagai contoh, ritual sa’i, yakni berjalan kaki dengan tergesa-gesa antara dua bukit, bukit Shafa dan Marwah tidak semudah sekarang.

Sa’i, adalah sebuah ritual yang mengilas balik ketika Ismail, putra Nabi Ibrahim dari Siti Hajar, masih menyusu. Suatu hari perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari antara dua bukit: Shafa ke Marwah demi seorang anak amanah Allah. Hajar pun terus mencari sumber air bolak-balik tujuh kali. Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih, yang sekarang kita namakan air zam-zam. Sumber air yang keluar dari hentakan dan jejakan kaki Ismail.

Kisah Siti Hajar ini diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia, sebagai rangkaian ibadah haji, yakni sa’i -berlari-lari kecil atau berjalan tergesa-gesa dari Sahfa ke Marwah bolak-balik tujuh kali.

Nah, di tahun 1955, jalan antara dua bukit tadi masih sempit dan tidak rata, ditambah kepikukan pertokoan dan warung-warung makan di kiri kanan jalan tadi. Sedangkan saat ini, jalan antara Shafa dan Marwah lebar dan mulus berkat hamparan marmer, beratap pula. Jika dulu, jalur tadi sempit dan digunakan untuk dua jalur, maka saat ini sudah jauh lebih lebar, dan terdapat pemisah antara satu jalur dan jalur lainnya.

Sejarah Saudi Arabia mencatat, perbaikan jalur antara bukit Shafa dan Marwah adalah berkat saran Bung Karno kepada Raja setempat. Pada tahun 1955, pengaruh Bung Karno memang begitu besar. Tidak saja di negara-negara Asia dan Afrika, tetapi hingga ke bentang Eropa, Amerika, bahkan Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia.

Dr. Soeharto, dokter pribadi yang ikut serta dalam rombongan haji Bung Karno, menuturkan betapa ia merasa beruntung. Sebab, tidak seperti kebanyakan jemaah haji yang lain, maka Bung Karno dan rombongan diperkenankan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di areal Masjid Nabawi, Madinah. Raja Arab begitu menghormati Bung Karno.

Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, kepada Dr. Soeharto dan didengar anggota rombongan yang lain, Bung Karno sempat menyampaikan pesan spiritualnya. Katanya, “To… kamu hendaknya jangan mempergunakan predikat haji, sebelum kamu betul-betul dapat mendirikan –tidak sekadar menjalankan– shalat secara tertib sebagaimana yang diperintahkan.”

Subhanallah…. Budi Supriyatno

BATU GANTUNG MESJID AL AQSA



Keterangan : Bukti kebesaran Allah SWT batu tempat duduk Nabi Muhammad

SAW sewaktu Israk Mikraj sampai kini masih tetap terapung di udara. Pada
saat Nabi Muhammad hendak Mikraj batu tersebut nak ikut bersama, tetapi
Nabi SAW menghentakkan kakinya pada batu tersebut, maksudnya agar batu
tersebut tidak dibenarkan ikut.
Kisah Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW tentang batu gantung tersebut yang
berada dalam masjid Umar (Dome of the Rock) di Lingkungan Masjidil AL
AQSA di Yarusalem (Baitulmuqadis).

Foto ini dari seorang hamba Allah sewaktu melawat Al Aqsa (yg
sebenarnya) di Jerusalem, Subhanallah … !! Foto ini dapat lolos
kerana tidak diketahui oleh pihak Israel yang berkawal dan menjaga
tempat tersebut dengan ketat.

Sampai sekarang masjid “dome of rock” ditutup untuk umum, dan Yahudi
telah membuat masjid lain iaitu Al Sakhra tak jauh disebelahnya
dengan kubah “emas” ( yg sering terlihat di poster2 yg disebarkan ke
seluruh dunia dimana2 ) dan disebut sebagai Al Aqsa, untuk mengelabui
ummat Islam dimana masjid Al Aqsa yang sebenarnya, yang Nabi Muhammad
SAW pernah sebutkan Al Aqsa sebagai “masjid kubah biru”.
Sekarang ini masjid Al Aqsa yg sebenarnya sudah diambil alih oleh Israel
dan merancang untuk dihancurkan untuk diganti sebagai tempat ibadah
mereka kerana bersebelahan dengan tembok ratapan bangsa Yahudi.

Budi Supriyatno